Khalifah Umar bin Khattab pada saat pembebasan Baitul Maqdis berikrar di hadapan penduduk kota itu mengenai hak-hak mereka dalam memperoleh perlindungan keamanan, baik terhadap diri, harta, gereja dan salib-salib mereka, tanpa kecuali. Juga terhadap orang sakit, orang sehat dan pemeluk-pemeluk agama yang ada di kota itu secara menyeluruh. Gereja-gereja mereka tidak diduduki dan tidak dirusaki. Hak-hak mereka tidak pernah dikurangi.
Agama Islam tidak pernah memaksakan mereka untuk memeluknya. Umar bin Khattab berjanji untuk tidak membiarkan satu pun diantara mereka diganggu dan disakiti. Bahkan, mengharapkan agar orang-orang Islam, Nashrani dan Yahudi dapat hidup rukun dan toleran dalam suasana kebersamaan yang saling menolong, membantu, meringankan dan menguatkan. “Jangan ada kecemasan diantara kita”, kata Umar bin Khattab mengingatkan.
Mereka yang tidak beragama Islam diberikan kebebasan menjalankan agamanya di bawah perlindungan Islam. Ketika Islam, misalnya, mengharamkan meminum minuman keras atau mengharamkan makan daging babi dan dilakukan oleh kaum Muslim, maka bagi yang melanggar diberikan sanksi hukum sebagaimana diatur dalam Islam.
Namun, bagi penduduk bukan Muslim, tidak dikenakan sanksi hukum yang meminum minuman keras maupun memakan daging babi. Kalaupun ada sanksi, hal itu dikembalikan kepada ketentuan agama mereka masing-masing. Hukum Islam hanya diberlakukan bagi orang Islam. Umat beragama lain, berlaku hukum sesuai dengan ajaran agama mereka. Di sinilah esensi toleransi beragama yang didambakan Islam.
Jejak toleransi beragama yang digariskan oleh Islam juga mengenai kesopanan berdialog antaragama dan berdiskusi dengan ahli kitab didasarkan pada pertimbangan akal sehat, membangun komunikasi yang baik, serta menggunakan metode dan pendekatan yang relevan. Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan dalam firman-Nya, “Dan janganlah kalian berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim diantara mereka. Dan katakanlah kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu. Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu, dan hanya kepada-Nya kami berserah diri” (Al-Ankabuut ayat 46).
Juga Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sungguh-sungguh mengharapkan agar kaum muslimin mampu menciptakan pergaulan yang harmonis, serta cerdas membangun dinamika hidup yang beradab dengan umat agama lain. Firman-Nya, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Allah hanya melarang kamu menjadikan orang-orang yang memerangi kamu atas dasar agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu orang lain untuk mengusirmu sebagai kawanmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim” (Al-Mu’minuun ayat 8-9).
Toleransi Islam yang lain adalah, Al-Qur’an mempersamakan orang tua kaum muslimin dengan orang tua kaum musyrikin dalam mengemban kewajiban berbuat baik kepada keduanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan Kami amanatkan kepada manusia terhadap kedua orang tua (ibu-bapak) nya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapinya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Dan hanya kepada-Ku tempat kembalimu. Dan jika keduanya memaksakan kehendak kepadamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik….” (Luqman ayat 14-15).
Jadi kendati orang tua berbeda agama dengan kita (bukan muslim), maka ajararan Islam memerintahkan sang anak untuk menghormati dan menghargai keduanya tanpa terganggu oleh perbedaan agamanya. Bahkan, dalam hal makanan pun, Islam memberikan toleransinya untuk dapat memakan makanan buatan kaum ahli kitab (bukan beragama Islam), juga dihalalkan memakan daging hasil sembelihan mereka. Termasuk, lelaki Islam diperkenankan mengawini perempuan non Islam. Al-Qur’an mengemukakan, “Makanan (sembelihan) yang diberikan oleh kaum ahli kitab itu halal bagimu dan makanan kamu halal pula bagi mereka. Dan dihalalkan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya diantara orang-orang yang diberikan Al-Kitab sebelum kamu….” (Al-Maidah ayat 5).
Islam pun dengan santun memperkenankan pemberian nama para ahli kitab sebagai ahlu zimmah (orang-orang dalam pemeliharaan Allah), karena kata zimmah berarti tanggungan, perjanjian dan pemeliharaan Allah. Rosulullah bersabda, “Barangsiapa menyakiti seorang zimmi, maka sayalah musuhnya dan barangsiapa memusuhi mereka, maka aku akan menjadi musuhnya pada hari kiamat”. Islam sangat membenci fanatisme dan sikap fanatik yang dibenarkan itu sepanjang upaya meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah, tanpa harus mencampuri urusan agama orang lain, apalagi haus mencelakakan dan merugikan pemeluknya sambil dengan sinis menyerang dan menghina cara-cara keberagamaan orang itu, baik dari intern agamanya sendiri maupun terutama yang berhubungan dengan ekstern agama orang lain. Allah pun tidak sudi menerima kebenaran sefihak dari agama apa pun, termasuk ahli kitab yang mengklaim bahwa mereka adalah anak-anak Allah dan bangsa mereka adalah bangsa pilihan di muka bumi ini, serta syurga yang disediakan Allah hanya khusus untuk mereka semata. Allah sungguh amat murka dengan hal seperti itu, “Orang-orang Yahudi dan Nashrani mengatakan bahwa kami anak-anak Allah dan kekasih-Nya. Katakanlah, mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu? (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan bukan pula kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia biasa diantara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan apa yang berada diantara keduanya. Dan kepada Allah-lah tempat kembali (segala sesuatu)” (Al-Maidah ayat 18).
Allah pun kembali menegaskan dalam firman-Nya, “Dan mereka, (kaum Yahudi dan Nashrani) berkata : ‘Sekali-sekali tidak akan masuk syurga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nashrani’. Demikian itu (hanya) angan-angan palsu mereka belaka. Katakanlah, tolong tunjukkan bukti kebenarab klaim kalian itu, jika kalian adalah orang-orang yang benar” (Al-Baqarah ayat 111).
Untuk itu, sebagai muslim yang baik, kita tidak boleh melakukan perbuatan apapun yang sifatnya merendahkan, mengejek dan menghina orang lain baik dari segi kepribadiannya, karyanya, postur tubuhnya maupun keadaan sosialnya. Karena penghinaan, celaan, apalagi merendahkan akan memunculkan perasaan sakit hati dan dendam. Oleh karena itu, setiap individu muslim hendaknya berusaha sekuat kemampuan untuk menahan dari dari sikap yang membuat orang lain merasa direndahkan. Manusia yang baik adalah mereka yang selalu memperhatikan dan memberikan pertolongan kepada orang-orang yang tidak mampu atau lemah disekitarnya. “Sebaik-baik manusia adalah orang yang selalu memberi manfaat kepaa manusia lain.” (HR Muttafaqun Alaih)
Dalam Al Qur’an surat Al Fath ayat 29, Allah menerangkan kepada kita bahwa “Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya dan dia adalah keras terhadap orang kafir, tetapi berkasih sayang bersama mereka”. Ayat ini menjelaskan bahwa nabi diutus kepada semua umat manusia dalam rangka memberi peringatan dan kabar gembira, menerangi kehidupan manusia yang dulunya berada dalam kebodohan agar mereka tidak lagi berbuat sewenang-wenang terhadap orang lain. Sebagai contoh, pada zaman jahiliyah, khususnya pada kaum quraisy yang dianggap penguasa, sedangkan orang miskin dan lemah dianggap sebagai budak. Hukum ketika itu bersifat ekslusif dan melindungi orang-orang tertentu saja sehingga orang-orang kuat menindas orang-orang lemah.
Allah mengutus Rasulullah untuk mengembalikan hak-hak dan martabat m,anusia yang rusak. Rasulullah memulai kembali dengan menata perilaku seluruh umatnya yang selama ini terjebak dalam kejahiliyahan dan mengangkat derajat mereka sebagai manusia yang mulia. Orang-orang yang kuat selalu diarahkan untuk berlemah lembut dan mengasihi orang yang lemah, membantu dan melindungi mereka. Manusia dianggap sama keberadaanya di hadapan Allah yang membedakannya hanyalah ketakwaanya.
Dengan demikian, kita sebagai generasi penerus muslim hendaknya turut mengasah kepekaan terhadap orang yang lemah atau duafa dengan mengikuti sifat kasih sayang dan lemah lembut yang telah diteladankan oleh Rasulullah. “Allah itu senantiasa menolong hambanya, selagi hambanya itu menolong saudaranya.” (HR Asy Syaikhan). “Perumpamaan seorang mukmin itu (dalam kasih sayang mereka, lemah lembutnya, dan rasa cinta mereka) bagaikan satu jasad atau badan yang apabila sakit salah satu anggota tubuhnya maka seluruh tubuhnya merasakan sakitnya.” (HR Bukhari)
Dalam Islam, sikap menghargai orang lain merupakan identitas seorang muslim sejati. Seorang yang mengakui dirinya muslim, ‘wajib’ mampu menghargai orang lain. Baginda Rasulullah menjelaskan, “Tidak termasuk golongan umatku orang yang tidak menghormati mereka yang lebih tua dan tidak mengasihi mereka yang lebih muda darinya, serta tidak mengetahui hak-hak orang berilmu.” (HR. Ahmad).
Semoga Bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar